Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 07 Februari 2024

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

6 Februari 2024


International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation campaign is an effort to end the practice of female genital mutilation (FGM). In 2012 the UN General Assembly designated February 6 as the date to commemorate International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation. Reported by the Unicef ​​website, Unicef ​​is collaborating with UNFPA in the Elimination of Female Genital Mutilation program. This was established through interventions in 17 countries where the practice is common.


Tahun ini, peringatan Hari Anti Sunat Perempuan mengambil tema "Her Voice, Her Future".


Lebih dari 200 juta perempuan yang hidup saat ini telah mengalami mutilasi atau sunat. Tahun ini, hampir 4,4 juta anak perempuan berisiko terkena praktik berbahaya FGM, yang setara dengan lebih dari 12 ribu kasus setiap hari.


Data dari UNICEF tahun 2021 memperlihatkan, setidaknya ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik FGM. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-3 jumlah kasus FGM terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.


Istilah sunat memiliki arti yang berbeda-beda dilihat dari sudut pandang penilainya. Untuk laki-laki, jelas sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis untuk kepentingan kesehatan. Yang terpenting, praktik ini WAJIB hukumnya dalam Islam.


Namun, berbeda ketika kita bicara soal sunat perempuan. Pengetahuan tentang pemotongan/penghilangan yang didapat dari istilah sunat laki-laki, menjadikan masyarakat kerap berpikir bahwa tindakan tersebut juga harus dilakukan SAMA PERSIS kepada perempuan. Padahal secara bentuk dan fungsi organ laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan.


Para ulama pun memiliki perbedaan pendapat mengenai sunat perempuan. Ada yang mengatakan wajib, sunnah (dianjurkan), dan diperbolehkan (tanpa konsekuensi hukum).


Anjuran dalam Islam pun sudah jelas perihal sunat perempuan (bagi ulama yang memfatwakan bahwa tindakan ini terkategori WAJIB), yaitu; memotong atau melukai sedikit kulit penutup (prepusium) klitoris. Yang pada faktanya tidak dipahami oleh banyak orang. Terlebih, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih, sehingga sunat dinilai tidak perlu dilakukan pada setiap perempuan.


Klitoris yang dipotong sebagian atau seluruhnya dapat menyebabkan perempuan alpa dalam merasakan rangsangan dan kenikmatan seksual, bahkan orgasme. Yang mana akan berdampak pada penurunan hasrat seksual, nyeri saat berhubungan intim, kesulitan saat penetrasi penis, serta penurunan lubrikasi selama bersanggama.


Sunat perempuan yang disamakan dengan sunat laki-laki, menyebabkan praktik mutilasi organ genital (female genital mutilation) menjamur terutama di daerah-daerah yang masih meyakini aktivitas keagamaan atau kepercayaan tertentu yang dilakukan secara turun temurun.


Tidak adanya pemahaman yang benar tentang sunat perempuan menurut syariat tanpa melibatkan adat istiadat, tradisi, upacara khusus, yang rawan penggunaan alat-alat tidak steril, dapat mengakibatkan penderitaan panjang bagi perempuan. Mulai dari pendarahan, kista, penyakit menular seksual, infeksi saluran kemih, keputihan, bakterial vaginosis, gangguan menstruasi, rasa sakit saat berhubungan seksual, serta peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan kematian.


Sunat pada anak perempuan juga berarti menghilangkan dan merusak jaringan genital yang sehat dan normal. Hal ini tentunya berisiko mengganggu fungsi alami tubuh perempuan.


Praktik sunat perempuan dilanggengkan tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang banyaknya mengatasnamakan agama dan tradisi nenek moyang. Salah satu yang masih dipercaya hingga hari ini adalah bahwa sunat perempuan semata dilakukan untuk mengendalikan nafsu seksual atau syahwat perempuan. Tidak sedikit orangtua yang hidup di era modern, merasa harus menyunat anak perempuan mereka dengan dalih melindungi anak dari pergaulan bebas karena nafsu seksualnya telah tunduk sebab telah disunat sedemikian rupa. Orangtua percaya pada zaman dahulu, sunat perempuan menjadikan perempuan tunduk dan betah di rumah, tidak terlibat kehidupan bebas yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan atau perzinahan. Padahal, modernisasi telah mengubah zaman dengan teknologi yang di dalamnya terdapat internet, media sosial, platform edukasi, semakin banyak tenaga kesehatan yang mudah dijangkau, ilmu, alat, dan fasilitas kesehatan yang semakin berkembang, serta komunitas, forum, dan kelompok terdidik yang bergerak demi mencerdaskan kehidupan bangsa, menolak pembodohan, demi kemajuan dan peningkatan kualitas generasi penerus.


Orangtua harus berpikiran mengikuti zaman dan membesarkan anak agar mereka kelak dapat mengikuti perkembangan yang ada di sekitarnya. Pola asuh, kebiasaan, percontohan, adalah tanggung jawab orangtua dan merupakan perjalanan panjang yang akan berdampak pada bagaimana cara anak kelak akan berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, termasuk tentang lingkungan pertemanan dan pergaulan. Menjadi orangtua yang bijak, mengajarkan ilmu agama sedini mungkin, menerapkan batas, disiplin, dan mendengarkan anak, being present sehingga anak merasa dibersamai, didukung, diperhatikan, dan diberi kasih sayang. Hal-hal inilah yang akan menjauhkan anak dari pergaulan bebas, bukannya mutilasi pada alat kelamin mereka.

Kamis, 18 Januari 2024

Kita Merdeka untuk Memilih Termasuk dalam Membangun Rumah Tangga

Kita Merdeka untuk Memilih Termasuk dalam Membangun Rumah Tangga

(If you are planning to get married, maybe this is suitable for you to read)



Pernikahan adalah kumpulan janji, komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, dan usaha. Bagaimana dua orang dengan perbedaan pribadi, latar belakang, asal usul, bahkan lingkar sosial memutuskan untuk membangun institusi rumah tangga dan bekerja keras bersama-sama untuk menyukseskan apa yang mereka yakini dan imani. Kompromi, saling mengerti, kepedulian, bahu membahu, saling melengkapi segala apa yang ganjil dan timpang pada jiwa serta kalbu masing-masing.


Untuk mencapai cita-cita dan destinasi yang telah disepakati, sepasang manusia harus rela pun bersedia mengoreksi, menyeleksi, dan mengeliminasi, menyatukan kepentingan, agar tidak ada kompetisi pun perbedaan pendapat yang berakhir saling menyakiti.


Namun, segala hal tersebut harus dimulai dengan satu prinsip dasar namun krusial; pondasi yang kokoh, tidak rawan ambruk. Pondasi tersebut meliputi kepercayaan, kejujuran, serta ketenangan. Kepercayaan bahwa perasaan yang ada dalam hati masing-masing setara, sehingga tak ada celah untuk saling curiga. Jujur mengenai kesediaan, ketidakterimaan, kesukaan, yang bermuara pada penerimaan, jiwa yang berkenan, tak menatap penuh tanda tanya dan menerka-nerka. Ketenangan, sebab mengetahui bahwa masing-masing senantiasa memiliki dan hadir secara utuh pun penuh.


Yang terpenting, pernikahan tidak menjadikan hanya salah satu berjuang seorang diri, merasa tunggal, didera kesepian akut.


Pernikahan tidak seharusnya menjadikan pelakunya was-was, khawatir, ketakutan yang tak berdasar. Jauh dan dekat jarak dengan pasangan sudah semestinya tidak menumbuhkan bibit kecemburuan dan runtuhnya percaya.


Pasangan yang baik, tidak membiarkan pasangannya berjuang dan larut dalam kecemasan terlalu lama tanpa sikap yang jelas. Karena sudah seharusnya dua orang yang hidup dalam institusi rumah tangga untuk saling menjaga; pikiran, hati, raga, serta jiwa. Tak kurang, tak setengah-setengah.


Maka adalah wajib memilih dan memilah pasangan bukan hanya dari apa yang tampak. Wajah boleh rupawan, tapi kita tidak hanya hidup untuk memandang wajahnya saja, bukan? Lapar tak dapat lenyap begitu saja dengan memandang, pekerjaan rumah tak mungkin selesai hanya dengan menatap wajah pasangan, anak-anak tumbuh dan berkembang di tangan orangtua yang siap dan berjuang bukan hanya orangtua yang memandang satu sama lain tanpa kedip dan berkesudahan.


Atau apabila bicara soal profesi, masyarakat Indonesia masih menganggap beberapa profesi lebih baik dari profesi lainnya. Memuja dan menganggap anak keturunannya harus berjodoh dengan pekerja A atau pekerja B. Hal tersebut secara sadar dan tidak, menimbulkan tekanan kepada anak, mengakibatkan pikirannya tersugesti untuk memenuhi angan-angan orangtua. Tak jarang, orangtua pun membatasi dan mewanti-wanti anak bahwa suku tertentu paling baik dan sang anak harus menikah dengan seseorang dari suku yang dimaksud.


Pada satu titik, bisa saja anak menjadi terpenjara dan tak berani melangkah untuk memulai. Merasa serba salah, merasa takut, dan tentu saja khawatir mengecewakan orangtua. Menjadi kelewat selektif, skeptis, dan trust issue.


Jangan abaikan tanda meski kecil nan samar sekalipun, sulit diterima, dilakukan berulang-ulang, dan hanya akan berakhir menyakiti kita hanya karena alasan kekanakan; soalnya dia GANTENG/CANTIK! Soalnya, karier dia cemerlang, gajinya besar! Soalnya dia PNS/ABDI NEGARA! Soalnya orangtuaku setuju karena dia berasal dari suku A atau suku B!


Angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan menjadi 516 ribu setiap tahun. Dari 13 penyebab utama perceraian yaitu; ketidakcocokan, kurangnya kedekatan, konflik terus menerus, minimnya komitmen, perbedaan pola asuh, dan prinsip yang bertentangan, dapat kita lihat, betapa penting setara dalam berpikir, bertindak, komunikasi, serta saling menghargai dan mengerti. Hal-hal yang seharusnya clear dan disepakati sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.


Pada suatu hari di sebuah rumah sederhana, seorang isteri tengah mencuci piring selagi menunggu masakannya matang. Seorang anak batita menangis di bawah kakinya, berteriak meminta perhatian. Sementara tak jauh dari sana, anaknya yang lain tengah melemparkan benda-benda ke segala arah, mengamuk. Di ruangan lain, sang suami memegang gawai, bermain game berjam-jam, wajah masam sebab menahan lapar, mulutnya mengumpat, sumpah serapah keluar. Mencaci maki isterinya yang dianggap tak becus dalam segala hal.


Contoh kasus di atas terjadi akibat mengabaikan RED FLAG di fase saling mengenal. Sejak awal memang si lelaki gandrung terhadap game, tak punya manajemen waktu yang baik, kesulitan mengatur skala prioritas. Sejak awal memang si perempuan tak pernah berani mengemukakan pendapat. Sejak awal tidak ada kesepakatan dan visi misi yang jelas, sejak mula tak ada pembagian tugas, cara mengasuh dan membesarkan anak, TIDAK ADA. Hanya karena dimabuk cinta, memaksakan apa yang tak seharusnya menjadi wajar.


Maka, pahamilah dan praktekan. Ketika fase saling mengenal, jangan terburu-buru. Kenali sepenuhnya, seutuhnya, semaksimal dan seoptimalnya. KENALI, jangan menaruh ekspektasi atau harapan yang kelewat tinggi agar diri tetap objektif, tidak hanya didasari nafsu, mengesampingkan akal sehat. KENALI, nothing to lose. Take your time.


Ambil momen untuk berkomunikasi, berunding. Sibukkan diri dengan belajar dari pengalaman orang lain, mengetahui dan meningkatkan nilai diri. Agar apa? Agar kita tahu apa yang kita mau dan apa yang kita cari. Tidak luluh hanya sebab ujaran manis dan janji-janji palsu.


Jangan pernah merendahkan standar diri hanya agar diterima. Jangan merasa bisa mengubah sifat seseorang hanya karena kamu bersedia menjadi pasangannya.


Kamu mengidap asma atau masalah pernapasan lain yang akut dan ia perokok aktif. Kamu TETAP menerimanya dengan alasan bisa mengubah kebiasaan tersebut atau berdalih, "Ia pasti akan berhenti merokok suatu hari nanti. Saya akan membuatnya berhenti. Ketika punya anak ia pasti akan berubah."


ATAU ketika seorang lelaki datang dan menawarkan pernikahan. Sejak awal ia telah mengatakan tegas bahwa menginginkan isteri yang hanya di rumah, tidak bekerja, dan tidak akan menempuh pendidikan tambahan. Sementara kamu memiliki niat atau memang tengah membangun karier dan telah berencana untuk sekolah lagi. Secara logika, kalian semestinya tidak berakhir bersama karena hal yang demikian berpotensi menimbulkan masalah besar. NAMUN karena lagi-lagi merasa dapat mengubah keputusan atau dapat merundingkan prinsip tersebut setelah menikah, maka kamu tetap menerimanya. Merasa ia mungkin akan merevisi pemikirannya dan kamu bisa tetap menggapai cita-citamu.


Padahal, rumah tangga yang sehat tidak dibangun berdasarkan keragu-raguan dan dugaan. Rumah tangga tidak boleh dibangun di atas ketidakpastian.


Jangan pernah berpikir bahwa siapapun yang datang adalah jodoh kita hanya karena kita takut tak ada lagi orang yang berminat melamar. Jodoh adalah bagian dari ikhtiar. Sudah seharusnya kekhawatiran tentang apapun yang melingkupinya diserahkan hanya kepada-Nya.


Di dalam rumah tangga, rasa kepemilikan tidak hanya dimiliki oleh satu pihak. Otoritas terhadap tubuh misalnya. Masing-masing harus mengetahui batas dan membiarkan apapun yang terbaik dipilih berdasarkan kesadaran dan akal sehat. Contohnya, alat kontrasepsi. Banyak terjadi tidak adanya kesepakatan mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, serta apakah akan berkontribusi dalam program keluarga berencana. Seringkali, perempuan disetir dan tidak disediakan pilihan. Dilarang menggunakan KB oleh suami, padahal ia merasa harus mengambil jeda dalam mengandung dan melahirkan anak. Sementara suaminya sendiri tak bersedia menggunakan alat kontrasepsi. Ketidakadilan semacam ini sudah seharusnya dihapuskan dengan edukasi yang tepat soal apa yang harus dan tidak boleh dalam pernikahan, jangan sampai kedzoliman dilanggengkan bahkan dalam institusi rumah tangga. Jangan sampai anak tumbuh dalam sistem keluarga yang otoriter, penuh penghakiman, sehingga hilangnya hak untuk bersuara, berpendapat, dan memilih.


Rumah tangga adalah anak tangga pertama yang akan menjadi contoh, cermin bagi generasi penerus dalam menghadapi kehidupan di dunia luar. Kebajikan, kepekaan, cinta kasih, dan kepercayaan diri terbentuk dari rumah. Bagaimana relasi yang sehat antar anggota keluarga, ayah dan ibu, adik-kakak. Bagaimana orangtua menjadi teladan, semua anggota keluarga berperan dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.


Beberapa orang mampu jadi pasangan yang baik namun belum tentu bisa jadi orangtua yang bijak, begitupula sebaliknya.


Maka jangan hanya belajar untuk menjadi sempurna sebagai pasangan saja, namun juga belajar untuk menjadi orangtua dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.


Dan kembali lagi pada statement awal, bahwa pernikahan adalah kumpulan janji, komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, dan usaha. Janji yang disaksikan penghuni langit dan bumi, komitmen yang berlaku seumur hidup bahkan dunia dan akhirat, kesetiaan dan tanggung jawab untuk bertahan, bertumbuh, dan selalu ada. Serta usaha yang mengikat satu sama lain sekaligus memberi ruang seluas-luasnya dalam menjadi dirinya sendiri dan di waktu yang sama memberikan yang terbaik agar rumah tangga dapat tetap berjalan.


This requires time, a long process, and patience. Maka benarlah bila dikatakan bahwa pernikahan adalah kumpulan masalah yang harus diselesaikan dan mampu dijalani bagi mereka yang bersedia dan siap.


Marriage is an accumulation of beauty and beauty requires a process. Some of these processes are not easy. But, this is what will shape us, so that we are able to define what we are looking for and what we really need.

Minggu, 24 Desember 2023

Formulasi Ampuh Membentuk Generasi Unggul; Kesehatan, Kebiasaan, dan Kedekatan

Formulasi Ampuh Membentuk Generasi Unggul; Kesehatan, Kebiasaan, dan Kedekatan


Hari Ibu, sesungguhnya bentuk nyata dari upaya menghargai, mengapresiasi, dan merayakan eksistensi perempuan sebagai individu dan ibu yang berdaya. Bila merunut pada sejarah, Hari Ibu pertama kali disepakati dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga yang saat itu diselenggarakan di Bandung tahun 1938, sepuluh tahun setelah Kongres Perempuan pertama. Ada tekad untuk membawa kaum perempuan keluar dari keterbatasan dan segala jenis ketidakadilan. Ini dibuktikan dengan tiga tuntutan pokok pada Kongres Perempuan pertama, yaitu: penambahan jumlah sekolah untuk anak perempuan, perbaikan aturan dalam hal taklik nikah, dan perbaikan aturan tentang sokongan kepada janda dan anak yatim pegawai negeri.

Ini menjelaskan begitu banyak tentang cita-cita perempuan untuk maju, bertumbuh, dan keluar dari sangkar. Kepedulian terhadap pendidikan kaumnya, kesejahteraan posisi perempuan dalam rumah tangga, serta keberlangsungan hidup perempuan dan anak-anaknya setelah pasangannya berpulang.


Kini, ketika keterbatasan informasi, transfer ilmu, dan keberadaan fakta berbasis penelitian mendalam oleh para ahli tak lagi jadi soal, perempuan Indonesia terutama ibu wajib berpendidikan dan terbuka terhadap berbagai hal baru. Pola asuh terhadap anak, tentu dipengaruhi oleh pola pikir. Bagaimana seorang anak bertumbuh sejak dalam kandungan hingga menjelma individu yang siap sebagai generasi pembeda.


Sebagai ibu, sebagai orangtua, kita tak ingin anak yang lahir dari rahim kita hanya jadi nama yang memanjangkan barisan, bukan? Kita tentu ingin anak ini menjadi 'seseorang' yang dipenuhi rasa bangga, kepercayaan diri, tekad, berkualitas secara pemikiran dan sikap, merdeka, tegak kuat di atas kakinya sendiri.


Namun, ketahuilah, segala yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak tak lepas dari bagaimana cara kita membesarkannya. Gagasan pertama pada proses panjang ini bernama; kesehatan.


Golden age merupakan periode penting dalam perkembangan anak. Masa golden age adalah masa emas pada anak-anak di awal kehidupannya yaitu pada usia 0-5 tahun. Terutama 1000 hari pertama kehidupan anak, yang dimulai sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Pada fase ini pertumbuhan anak mencakup otak dan organ vital lainnya berkembang begitu pesat. Penelitian menyatakan, sekitar 50% kecerdasan orang dewasa mulai terbentuk di usia 4 tahun.


Banyak orangtua memaksa anaknya (secara otoriter) menjadi yang paling pintar di sekolah, unggul dalam bidang akademik dan non akademik, diberikan bimbel ini dan itu, kegiatan A-Z, namun kerap bertanya-tanya, "Mengapa anakku masih tidak juga juara kelas? Kenapa dia tidak pernah menang lomba? Mengapa dia tidak semangat dalam olimpiade? Mengapa ia malas sekali, tidak suka belajar, dan tidak pernah mendapat nilai yang bagus? Apa yang salah?"


Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ayal menjadikan orangtua kehilangan kesabaran, menyalahkan anak, mengungkit-ungkit pengorbanan and everything in between. Lantas anak didera kebingungan, menyalahkan dirinya sendiri, kehilangan motivasi, lalu tertinggal di belakang. Selamanya tak merasa kapabel terhadap apapun. Tidak punya minat, merasa tak berbakat, merepotkan, beban.


Maka, orangtua, cobalah satu prinsip ini; maksimalkan peran sebagai orangtua, dan tugas menjadi optimal sebagai anak yang tengah bertumbuh menjadi individu yang matang nan dewasa kembali kepada anak itu sendiri. Cara kita memperlakukan anak-anak akan menjadikan mereka lebih bijaksana dalam membentuk kecenderungan diri yang baik.


Koreksi proses sejak anak dalam kandungan. Apakah orangtua telah memberikan gizi dan nutrisi terbaik melalui makanan dan suplemen wajib? Apakah pada periode menyusui dan MPASI anak mengalami masa-masa indah dan menikmatinya? Apakah berat dan tinggi badan anak normal? Apakah makanan yang dikonsumsi terkategori sehat, bergizi, bernutrisi? Apakah anak pernah didiagnosis stunting, gagal tumbuh, atau henti tumbuh? Lalu bagaimana dengan imunisasinya? Apakah sudah ditunaikan, lengkap, tanpa terlewat?


Lalu setelah hal-hal paling dasar tersebut, pikirkan lagi tentang kebiasaan. Apakah anak terstimulasi dengan optimal secara kognitif, sensorik dan motorik? Apakah anak terbiasa dibacakan dan membaca buku? Apakah anak melihat orangtuanya melakukan aktivitas literasi di rumah? Apakah bonding antara orangtua dan anak sudah baik?


Karena rasanya tidak adil apabila anak hanya dituntut untuk memenuhi ekspektasi dan ambisi orangtua, sementara mereka sendiri tidak terpenuhi hak-haknya. Mereka tidak berhutang apapun pada kita, bukan? Kitalah yang berhutang banyak pada anak-anak ini. Yang mengajarkan kita artinya bersabar, mengendalikan emosi, menjadi dewasa, memantik rasa tanggung jawab, serta kepedulian dan motivasi terbesar untuk menjadi lebih baik setiap harinya.


Tanamkan dalam diri untuk berusaha senantiasa melakukan yang terbaik, terus mencoba. Agar kelak anak-anak tak perlu mengalami luka-luka pengasuhan dan dampak negatif kurangnya perhatian, kasih sayang, kesempatan untuk menerima gizi dan nutrisi seimbang, serta ikatan yang istimewa dengan orangtua.


Jangan paksa anak kecil untuk bersikap dewasa. Namun, jadilah orang dewasa yang memahami anak agar kelak ketika mereka dewasa, mereka mampu memahami dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya, menjadi peka, memiliki empati yang besar. Cerdas secara emosional, bukan hanya intelektual.


Hari Ibu sekali lagi menjadi momentum perayaan atas berdayanya perempuan dengan karya dan produktivitas dalam berbagai disiplin ilmu, peran, serta latar belakang. Dari rahim dan tangan perempuan, lahir pun terbentuk generasi muda yang kelak akan meneruskan perjuangan sebagai aset berharga bangsa. Pemuda-pemudi yang akan bergerilya dalam masyarakat sebagai pelopor dan penggerak.


Kesehatan, kebiasaan, dan kedekatan. Segitiga yang setiap sisinya saling terhubung, mengikat, erat. Menjadi orangtua adalah tugas berat nan luhur yang kita pilih atas dasar kesadaran dan akal sehat.


Dengan komitmen, visi, misi, dan prinsip yang lurus, tugas tersebut akan tunai sebagaimana hakikat keberlangsungan peradaban yang melahirkan untuk membentuk dan memfasilitasi generasi setelahnya demi hidup yang jauh, jauh lebih baik.

Selasa, 08 Agustus 2023

Are Beauty Pageants Still Relevant and Play a Role in Motivating the Young Generation?

I strongly believe that human beings, as anything, have and need a platform as a medium to convey their voice in order to empower and benefit more people. The capacity to make choices is closely related to ability and willingness. Beauty pageants are one of the platforms that some people, men and women, choose and aim for.


More than just the beauty of the body and the beauty of the face, the most prestigious beauty contests emphasize advocacy, leadership, and intellectual contestants. As evidenced by the holding of speech sessions, deep interviews, questions and answers, and keynote speeches on general knowledge in various fields; politics, education, health, humanitarian issues, empowerment, tourism, environment, and so on.


Beauty pageants specifically for women, for example. It has been some time since the controversial swimsuit session along with the feminism movement and the push for gender equality was eliminated and replaced with a sportswear session or completely abolished altogether. The exploitation of the body is rampant and has been perpetuated by beauty pageants for generations, perpetuating the notion that the body is number one and the brain is unnecessary.


In fact, more than that, women who stand on stage, bring advocacy and voice good campaigns to invite, motivate, and inspire young people to dare to dream and start are really igniting the confidence and enthusiasm that exists in other women. That despite the stigma and judgment of what is appropriate and what is not, women can still act and fight, have a stand, be strong and agile.


Beauty pageants should be safe, independent platforms that uphold moral values. To remain relevant to the times while keeping in mind the needs of the younger generation, it is imperative that setbacks in the system, and rules that are detrimental and not fully in favor of women are abolished.


Beauty pageants should focus on empowering the younger generation, be inclusive, so that they can be filled with usefulness, participate in building the possibility of a brighter future with real action.


Beauty is about depth of mind, how a throne holder is able to become a role model as well as an icon of inner and outer beauty, intelligence, broad insight, beauty of speech, adaptive, sympathetic, and dashing.


It's been a long time since old-fashioned beauty standards were broken by beauty pageants itself. This proves that beauty pageants actually have the power to impact goodness, saving the younger generation from judging themselves.


Everyone should be heard, given time, given equal opportunities to prove that they are capable of realizing noble ideals; raising awareness about how important it is to be serious about the future.


Because being beautiful is not enough. The world is waiting for your breakthrough.


The world is waiting for you.



Signed,

Beauty pageant observer & connoisseur

Siti Sonia Aseka

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation 6 Februari 2024 International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mut...